Dalam kitab tauhdhihul ahkam, syarat adil bagi wali menjadi perselisihan para ulama:
1, Imam Syafi'i dan Ahmad berpendapat bahwa disyariatkan adil bagi wali nikah, karena wilayah nikah ini menuntut adanya pertimbangan-pertimbangan yang baik dan bertujuan untuk kemashlahatan, sehingga seorang yang dikenal fasiq tidak boleh menjadi wali
2. sedangkan Imam Ahmad dan Malik berpendapat bahwa adil bukan menjadi syarat dari seorang wali, sehingga boleh bagi seorang fasiq menjadi wali karena seperti yang telah dijelaskan yang telah lalu bahwa seorang laki-laki baik fasiq ataupun tidak bisa menjadi wali dirinya sendiri, jadi dia juga bisa menjadi wali bagi yang lain.
Berpendapat pemilik kitab "syarhul al-Kabiir" pendapat yang benar yang juga diamalkan adalah seorang ayah bisa menjadi wali bagi yang di walikannya, meski keadaannya waktu itu keadaan yang tidak baik asal tidak sampai kafir, dan pendapat inilah yang diamalkan oleh manusia
analisis: dari pendapat ini ada baiknya kita kompromikan. jika kita cermati, maka ulama yang berpendapat bahwa adil adalah syarat wali mendasarkan pendapatnya ini dengan dasar berhati-hati karena kemashlahatan dalam pernikahan merupakan sesuatu yang penting, dan mereka juga berpendapat, kefasiqan seseorang akan mempengaruhi keputusannya.
Sama halnya dengan pendapat yang membolehkan namun mereka berpendapat kefasiqan seseorang belum bisa menyebabkan dia tidak boleh menjadi wali sebab ukuran kefasiqan itu banyak tingkatannya, dan mereka memberi batas bahwa jika kefasiqan telah mencapai kekafiran barulah tidak boleh menjadi wali. Maka dari sini penulis berpendapat, jika seseorang telah betul-betul nyata kefasikan yang ia perbuat dalam kesehariaannya dan ternyata mempengaruhi dalam hak perwaliannya, seperti menikahkan dengan seorang yang tidak sekufu, maka tidak boleh menjadi wali, hal itu demi menjaga kemashlahtan kepada kedua belah pihak yang akan menikah.
Post a Comment